Wisata Budaya Suku Baduy Desa Kanekes Banten-Suku Baduy salah satu suku asli Banten. Jumlahnya pendududuk suku baduy sekitar 5.000 – 8.000 orang. Lokasi Suku Baduy tepatnya berada di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto, khususnya penduduk wilayah Baduy dalam. Wilayah suku baduy sendiri terbagi kedalam 2 daerah yaitu suku baduy dalam dan baduy luar. Suku baduy dalam merupakan suku baduy yang benar-benar masih menjaga pikukuhnya sedangkan suku baduy luar merupakan suku baduy yang sudah berbaur dengan masyarakat sekitarnya.
Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek a–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Menurut kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama. Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah, yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Ada versi lain dari sejarah suku baduy, dimulai ketika Kian Santang putra prabu siliwangi pulang dari arabia setelah berislam di tangan sayyidina Ali. Sang putra ingin mengislamkan sang prabu beserta para pengikutnya. Di akhir cerita, dengan 'wangsit siliwangi' yang diterima sang prabu, mereka berkeberatan masuk islam, dan menyebar ke penjuru sunda untuk tetap dalam keyakinannya. Dan Prabu Siliwangi dikejar hingga ke daerah lebak (baduy sekarang), dan bersembunyi hingga ditinggalkan. Lalu sang prabu di daerah baduy tersebut berganti nama dengan gelar baru Prabu Kencana Wungu, yang mungkin gelar tersebut sudah berganti lagi. Dan di baduy dalamlah prabu siliwangi bertahta dengan 40 pengikut setianya, hingga nanti akan terjadi perang saudara antara mereka dengan kita yang diwakili oleh ki saih seorang yang berupa manusia tetapi sekujur tubuh dan wajahnya tertutupi oleh bulu-bulu laiknya monyet.dan ki saih ini kehadirannya di kita adalah atas permintaan para wali kepada Allah agar memenangkan kebenaran.
Kepercayaan masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya juga dipengaruhi oleh agama Budha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya puun yang merupakan ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan.
Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen (Permana, 2003a).Bagi sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
- Suku Baduy Luar
Baduy luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Baduy Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkanya warga Baduy Dalam ke Baduy Luar. Pada dasarnya, peraturan yang ada di baduy luar dan baduy dalam itu hampir sama, tetapi baduy luar lebih mengenal teknologi dibanding baduy dalam.
Ciri-ciri khas masyarakat:
- Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Baduy, termasuk warga Baduy Luar.
- Proses Pembangunan Rumah penduduk Baduy Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Baduy Dalam. (BL)
- Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans. (BL)
- Kelompok masyarakat panamping (Baduy Luar), tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi (di luar) wilayah Baduy Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. (BL)
- Suku Baduy Dalam
Terletak di kaki pegunungan kendeng desa Kanekes, kecamatan Leuwi Damar, Kabupaten Lebak- Rangkasbitung Banten. Desa ini merupakan jalur terakhir transportasi umum. Setelah tiba di Baduy luar, pertama kali kita wajib lapor ke pimpinan setempat yang di panggil Jaro Pulung, beliau bertugas sebagai penghubung antara suku baduy dengan budaya luar. Dari sini kita masih harus melanjutkan perjalanan agar tiba di suku baduy dalam yaitu antara 3-4 jam. Wilayah Baduy terbagi ke dalam tiga yaitu : Cikeusik, Cibeo, Cikertawana.
Baduy Dalam adalah bagian dari keseluruhan Suku Baduy. Tidak seperti Baduy Luar, warga Baduy Dalam masih memegang teguh adat istiadat nenek moyang mereka. Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Baduy Dalam antara lain:
- Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
- Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
- Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Puun)
- Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)Menggunakan Kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat)
Pada saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Baduy Dalam, tidak menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Baduy juga senang berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai 5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Baduy sambil menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Sampai saat ini, suku baduy dalam tidak mengenal budaya baca tulis. Yang mereka tahu, ialah aksara hanacaraka (aksara sunda). Anak-anak suku baduy dalam pun tidak bersekolah, kegiatannya hanya sekitar sawah dan kebun. Menurut meraka inilah cara mereka melestarikan adat leluhurnya. Meskipun sejak pemerintahan Soeharto sampai sekarang sudah di adakan upaya untuk membujuk mereka agar mengizinkan pembangunan sekolah, namun mereka selalu menolak. Sehingga banyak cerita atau sejarah mereka hanya ada di ingatan atau cerita lisan saja.
Selain itu, suku baduy dalam juga tidak mengenal perkakas seperti yang kita tahu misal gergaji, palu, paku. Jadi untuk membuat rumah, dibuat dengan menggunakan bahan dan alat-alat tradisional. Di ambil dari hutan dan di kerjakan secara gotong royong. Seperti jembatan yang di buat dengan bahan bambu, di ikat dengan tali dan memakain pondasi dari pohon sekitar. Terlebih lagi untuk barang-barang elektronik : Hp, Tv, Laptop atau Komputer.
Suku baduy menerima dua kepemimpinan, pertama dari pemerintah, biasanya di pimpin oleh Jaro Pamarentah. Dan pemimpin dari lingkungan mereka sendiri yang di panggil Pu’un. Pu’un adalah pemimpin adat tertinggi di baduy dan terbagi di tiga kampung suku baduy dalam. Jabatan pu’un lebih bersifat turun temurun namun kerabat atau anggota keluarga lainpun bisa menjadi Pu’un. Serta tidak di berikan jangka waktu pasti, tergantung kemampuan Pu’un tersebut memangku jabatan.
Sungai menjadi sumber dan urat nadi kehidupan sehari-hari mereka. Dari mulai mandi, mencuci, MCK semuanya di lakukan di sungai. Teman-teman yang berniat berkunjung ke suku baduy dalam, persiapkan makanan seperti beras, mie instant, sarden dan lain-lain. Nanti para ibu suku baduy yang akan membantu memasaknya. Salah satu kebiasaan yang harus di patuhi masyarakat suku baduy dalam ialah jam tidur maksimal jam 21:00.
Biasanya kalau sesuatu terlampau berbeda maka akan menarik perhatian banyak orang. Karena menjadi hal yang unik. Dan di sanalah titik menariknya, terbukti ratusan orang berkunjung dalam satu rombongan ke suku baduy dalam.
Baduy itu Sederhana
Mata pencaharian masyarakat Baduy sehari-hari adalah bercocok tanam. Dan di Baduy, tidak pernah didirikan sekolah formal seperti pada umumnya karena secara adat, penghuni kampung Baduy dididik dari alam dan orangtua mereka sendiri. Karenanya, suku etnis Baduy tidak mengenal aktivitas baca-tulis. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Sunda dengan dialek Sunda Kulon.
Anak-anak Baduy tidak sekolah, sejak kecil mereka diajarkan bercocok tanam. Tidak heran ada anak perempuan umur 10 tahun sudah mahir mengayunkan golok. Lalu jangan harap Anda bisa berinteraksi dengan seluruh masyarakat Baduy, mereka hanya akan berbicara jika ada perlunya. Entah mereka takut dengan pu’un (ketua adat) atau memang mereka percaya “pamali” jika berbicara dengan orang asing/ luar suku Baduy. suku Baduy dengan keras menolak kedatangan bule dan keturunan tionghoa yang ingin melihat kampung mereka dan uniknya, larangan ini ditulis secara mencolok dan vulgar di pintu masuk desa Kanekes. Mereka hanya menerima kunjungan dari bangsa Arab dan warga pribumi.
Dengan kesederhanaan yang ada mereka hanya berpikir positif, jangan mengotori alam, jangan merusak alam, jangan bertengkar, semua dibicarakan dengan baik-baik. Mereka saling percaya satu sama lain. Tidak ada harta yang mereka saling irikan, karena tidak boleh pakai emas. Bahkan untuk mas kawin pun syaratnya dengan perlengkapan makan. Larangan memakai odol, shampoo, dan sabun, membuat sungainya mengalir bersih. Mandi di mata air dan buang air di hilir sungai. Mereka memakai merang untuk mencuci rambut.
Tips Jika Ingin Berkunjung
Jika Anda ingin mengunjungi Desa Kanekes selain mempersiapkan fisik Anda juga harus siap untuk menghormati dan mematuhi peraturan adat yg berlaku di kawasan ulayat masyarakat Baduy yang dibuat Jaro (Kepala Desa) Kanekes.
Orang Baduy sehari-hari berbahasa Sunda kasar. Bahasa yang dipakai mereka tidak mengenal tingkatan bahasa atau pemakaian bahasa berdasarkan status sosial. Selain berbahasa Indonesia, beberapa orang Baduy Dalam bisa pula menggunakan kata-kata berdialek Betawi, bahkan mengeluarkan kosakata bahasa Inggris. Rasa hormat pada pengunjung tidak diperlihatkan lewat kata-kata khusus, tetapi lewat tingkah laku mereka.
Orang Baduy juga senang bercanda, tetapi hanya dengan orang yang sudah dikenalnya. Berteman akrab dengan orang Baduy Dalam tidak sulit karena orang-orang Baduy bersikap terbuka terhadap orang asing. Orang-orang Baduy Dalam bersifat menerima pendatang, meski banyak pantangan saat Anda hidup di sekitar mereka. Tapi di luar itu, mereka menerima pengunjung dengan ramah.
Pendatang dilarang membawa radio, gitar, senapan angin, tidak menangkap atau membunuh binatang, tidak membuang sampah sembarangan, tidak menebang pohon, tidak meninggalkan api di hutan, tidak mengonsumsi minuman memabukkan, dan tidak melanggar norma susila.
Apabila Anda akan mandi maka itu dilakukan di pancuran di luar dusun tepatnya di kali yang jadi batas dusun. Penggunaan bahan kimia seperti sabun, pasta gigi, shampoo, dilarang. Akan tetapi justru hal seperti ini yang akan menjadi pengalaman unik dalam perjalanan Anda. Sebuah cara hidup kembali ke alam yang sempurna.
Adat Baduy sangat membatasi sentuhan dengan dunia modern, terutama pada listrik dan peralatan elektronik lainnya. Untuk penerangan, Suku Baduy mengunakan lilin, bukan semacam obor. Anda boleh menggunakan senter untuk memudahkan saat ke kamar kecil pada malam hari yang dilarang bukan benda berlistrik, tapi alat elektronik. Jadi Anda diharapkan tidak menggunakan handphone, camera, atau radio. Jika di wilayah Baduy Luar Anda masih bisa memotret maka di wilayah Baduy Dalam memotret tidak diperbolehkan.
Apabila Anda menginap di perkampungan Baduy Luar maka bisa menggunakan sabun atau sampo ketika mandi. Di Baduy Dalam kedua benda itu pantang dipakai. Obat-obatan pribadi harus dibawa, terlebih karena di dalam perkampungan Baduy tidak ada puskesmas atau apotek.
Sepatu atau sandal gunung direkomendasikan agar tidak mudah tergelincir, apalagi di jalan menanjak. Jangan lupakan pula jaket atau jas hujan serta tudung tas yg kedap air untuk melindungi barang bawaan agar tidak basah. Minyak anti nyamuk berguna dibawa untuk menghalau serangga terutama ketika berjalan-jalan ke hutan atau perladangan.
Pada bulan Kawalu yaitu masa panen tiga bulan berturut-turut di bulan Februari-April sebaiknya tidak ke Desa Kanekes Baduy karena Baduy Dalam ditutup sama sekali untuk semua orang luar. Namun, bagi pengunjung pada bulan Kawalu tetap bisa bertemu dengan warga Baduy Dalam saat keluar dari kampung mereka.
Demikian Info yang bisa saya bagikan tentang Wisata Budaya Desa Kanekes Suku Baduy Banten. Semoga dapat menambah referensi Anda tentang budaya dan wisata khususnya di Desa Kanekes Banten.
Baduy itu Sederhana
Mata pencaharian masyarakat Baduy sehari-hari adalah bercocok tanam. Dan di Baduy, tidak pernah didirikan sekolah formal seperti pada umumnya karena secara adat, penghuni kampung Baduy dididik dari alam dan orangtua mereka sendiri. Karenanya, suku etnis Baduy tidak mengenal aktivitas baca-tulis. Bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa Sunda dengan dialek Sunda Kulon.
Anak-anak Baduy tidak sekolah, sejak kecil mereka diajarkan bercocok tanam. Tidak heran ada anak perempuan umur 10 tahun sudah mahir mengayunkan golok. Lalu jangan harap Anda bisa berinteraksi dengan seluruh masyarakat Baduy, mereka hanya akan berbicara jika ada perlunya. Entah mereka takut dengan pu’un (ketua adat) atau memang mereka percaya “pamali” jika berbicara dengan orang asing/ luar suku Baduy. suku Baduy dengan keras menolak kedatangan bule dan keturunan tionghoa yang ingin melihat kampung mereka dan uniknya, larangan ini ditulis secara mencolok dan vulgar di pintu masuk desa Kanekes. Mereka hanya menerima kunjungan dari bangsa Arab dan warga pribumi.
Dengan kesederhanaan yang ada mereka hanya berpikir positif, jangan mengotori alam, jangan merusak alam, jangan bertengkar, semua dibicarakan dengan baik-baik. Mereka saling percaya satu sama lain. Tidak ada harta yang mereka saling irikan, karena tidak boleh pakai emas. Bahkan untuk mas kawin pun syaratnya dengan perlengkapan makan. Larangan memakai odol, shampoo, dan sabun, membuat sungainya mengalir bersih. Mandi di mata air dan buang air di hilir sungai. Mereka memakai merang untuk mencuci rambut.
Tips Jika Ingin Berkunjung
Jika Anda ingin mengunjungi Desa Kanekes selain mempersiapkan fisik Anda juga harus siap untuk menghormati dan mematuhi peraturan adat yg berlaku di kawasan ulayat masyarakat Baduy yang dibuat Jaro (Kepala Desa) Kanekes.
Orang Baduy sehari-hari berbahasa Sunda kasar. Bahasa yang dipakai mereka tidak mengenal tingkatan bahasa atau pemakaian bahasa berdasarkan status sosial. Selain berbahasa Indonesia, beberapa orang Baduy Dalam bisa pula menggunakan kata-kata berdialek Betawi, bahkan mengeluarkan kosakata bahasa Inggris. Rasa hormat pada pengunjung tidak diperlihatkan lewat kata-kata khusus, tetapi lewat tingkah laku mereka.
Orang Baduy juga senang bercanda, tetapi hanya dengan orang yang sudah dikenalnya. Berteman akrab dengan orang Baduy Dalam tidak sulit karena orang-orang Baduy bersikap terbuka terhadap orang asing. Orang-orang Baduy Dalam bersifat menerima pendatang, meski banyak pantangan saat Anda hidup di sekitar mereka. Tapi di luar itu, mereka menerima pengunjung dengan ramah.
Pendatang dilarang membawa radio, gitar, senapan angin, tidak menangkap atau membunuh binatang, tidak membuang sampah sembarangan, tidak menebang pohon, tidak meninggalkan api di hutan, tidak mengonsumsi minuman memabukkan, dan tidak melanggar norma susila.
Apabila Anda akan mandi maka itu dilakukan di pancuran di luar dusun tepatnya di kali yang jadi batas dusun. Penggunaan bahan kimia seperti sabun, pasta gigi, shampoo, dilarang. Akan tetapi justru hal seperti ini yang akan menjadi pengalaman unik dalam perjalanan Anda. Sebuah cara hidup kembali ke alam yang sempurna.
Adat Baduy sangat membatasi sentuhan dengan dunia modern, terutama pada listrik dan peralatan elektronik lainnya. Untuk penerangan, Suku Baduy mengunakan lilin, bukan semacam obor. Anda boleh menggunakan senter untuk memudahkan saat ke kamar kecil pada malam hari yang dilarang bukan benda berlistrik, tapi alat elektronik. Jadi Anda diharapkan tidak menggunakan handphone, camera, atau radio. Jika di wilayah Baduy Luar Anda masih bisa memotret maka di wilayah Baduy Dalam memotret tidak diperbolehkan.
Apabila Anda menginap di perkampungan Baduy Luar maka bisa menggunakan sabun atau sampo ketika mandi. Di Baduy Dalam kedua benda itu pantang dipakai. Obat-obatan pribadi harus dibawa, terlebih karena di dalam perkampungan Baduy tidak ada puskesmas atau apotek.
Sepatu atau sandal gunung direkomendasikan agar tidak mudah tergelincir, apalagi di jalan menanjak. Jangan lupakan pula jaket atau jas hujan serta tudung tas yg kedap air untuk melindungi barang bawaan agar tidak basah. Minyak anti nyamuk berguna dibawa untuk menghalau serangga terutama ketika berjalan-jalan ke hutan atau perladangan.
Pada bulan Kawalu yaitu masa panen tiga bulan berturut-turut di bulan Februari-April sebaiknya tidak ke Desa Kanekes Baduy karena Baduy Dalam ditutup sama sekali untuk semua orang luar. Namun, bagi pengunjung pada bulan Kawalu tetap bisa bertemu dengan warga Baduy Dalam saat keluar dari kampung mereka.
Demikian Info yang bisa saya bagikan tentang Wisata Budaya Desa Kanekes Suku Baduy Banten. Semoga dapat menambah referensi Anda tentang budaya dan wisata khususnya di Desa Kanekes Banten.
* Jangan Meninggalkan Link Aktif
* Silahkan berkomentar dengan Kata Sopan Dan Ber-Etika.
* Terima kasih telah singgah di blog ini.
* Oke jangan pernah bosen singgah di sini :D
EmoticonEmoticon