Perangkap Pembodohan Diri

Wibi Alwi Surya Kuncoro 23.59.00
Perangkap Pembodohan Diri-Pada prinsipnya semua orang itu cerdas, sesuai dengan talentanya masing-masing. Manusia terlahir untuk menjadi genius. Hanya saja, manusia tidak menyadari bahwa dirinya seiring perjalanan waktu masuk dalam perangkap pembodohan diri.

Tidak kecuali, apa pun latar belakangnya, kaya atau miskin seseorang berpeluang masuk perangkap kebodohan. Siapa saja yang masuk, cepat atau lambat akan menjadi manusia bodoh. Yang kaya, “kenyamanan hidup” dapat saja menjadikan dirinya enggan belajar; yang miskin “keterbatasan finansialnya” menjadikan dirinya menyerah untuk belajar.

Perangkap kebodohan tidak sebatas pada faktor-faktor sosial ekonomi (kaya-miskin) sperti tersebut di atas namun lebih banyak masuk ke wilayah pola pikir individual. Yang kaya dan miskin berpeluang sama masuk ke perangkap kebodohan yang diciptakan oleh dirinya sendiri. Coba kita simak beberapa perangkap kebodohan berikut ini.

Perangkap Pembodohan Diri

Pertama, kita cenderung mengejar kemudahan dari pada kesulitan. Kebanyakan dari kita akan mencari hal-hal yang mudah dari pada yang sulit. Meski sulit itu relatif. Sesuatu yang mudah, yang tidak banyak unsur kesulitannya, maka menjadikan pikiran kita kurang mau bekerja secara optimal. Pada hal, syarat utama agar kita menjadi lebih pintar adalah menghadapi kesulitan (belajar).

Menurut para ahli neuro science, sel-sel syaraf otak kita akan berkembang dengan baik bila sering berpikir alias sering menghadapi tantangan (belajar). Setiap kali menyelesaiakan persoalan (belajar) pikiran membuat sebuah sirkuit baru sebagai dasar (pengalaman) untuk menyelesaikan persoalan yang sama atau persoalan yang baru.

Kedua, kita cenderung menutup pikiran. Menghindari kesulitan karena tahu resikonya, juga termasuk menutup pikiran untuk tidak mau belajar sesuatu hal yang baru. Terjadinya kekerdilan pikir boleh jadi berawal dari pintu-pintu pikiran yang sering tertutup.

Pikiran itu seperti parasut. Begitu sering kita dengar dari para pakar pengembangan diri. Parasut, katanya, akan berfungsi bila dibuka. Pikiran juga demikian halnya. Pikiran akan berfungsi bila pemiliknya rajin membukanya baik dengan jalan menghadapi kesulitan maupun mau dengan rendah hati menerima masukan dari orang lain. Kita menjadi pintar pada dasarnya karena rajin menerima masukan dari orang lain (termasuk dari orang tua, guru/dosen).

Keempat, kita cenderung memiliki “arogansi intelektual”. Sadar atau tidak, kita seringkali  merasa bahwa pendapat kita jauh lebih benar dari pada pendat atau teori orang lain. Tidak ada pintu argumentasi satu pun yang terbuka bagi pendapat orang lain. Hal yang seperti itu bila dibalut dengan sifat emosional yang tidak mau tuhu, maka lengkap sudah “arogansi intelektual” kita sebagai pangkal kebodohan. Semakin kita arogan semakin sulit menerima ide orang lain.

Kelima, sikap kita yang cenderung takut salah. Budaya kita, orang tua kita, guru dan dosen kita cenderung tidak menghargai kesalahan. Yang dihargai dalam budaya belajar kita hanya yang benar saja, pada hal sebuah kebenaran melalui sebuah proses salah dan salah terlebih dahulu. Takut salah berarti takut belajar.

Keenam, terperangkap dalam citra diri yang rendah. Banyak orang yang memandang dirinya manusia inferior, khususnya yang berlatar belakang dari keluarga miskin. Berbagai kekurangan fasilitas dan sumber-sumber akses informasi lainnya membawa diri seseorang pada pola pikir atau  sikap rendah diri. Bahwa dirinya tidak mungkin berprestasi atau tidak mungkin bisa belajar pada level yang lebih tinggi karena miskin.

Namun demikian, sering kita menemui seorang anak yang kebetulan dari keluarga mampu, yang salah dalam menilai dirinya. Bahwa dirinya merasa tidak mampu dalam satu bidang  tertentu (matematik misalnya) tetapi mencitrakan diri secara sembrono bahwa dirinya tidak pastas sukses. Pada hal tidak bakat di satu bidang (matematik) belum tentu di bidang lainnya seperti musik, olah raga dan seni.

Keenam, terperangkap waktu. Manusia akan menjadi pintar atau bodoh sangat tergantung pada bagaimana memanfaatkan waktu. Keterampilan  seseorang dalam memanfaatkan waktu menentukan dirinya akan menjadi manusia dewasa atau menjadi tua saja.

Sayangnya banyak diantara kita terperangkap waktu dengan cara memanjakannnya. Jujur saja kita sering membuang waktu luang begitu saja dengan cara memanjakan diri bermalas-malasan. Kita cenderung “ahli berdalih” soal waktu. Pada saat sibuk, selalu mendambakan datangnya waktu luang untuk belajar, namun ketika waktu luang itu tersedia, kita cenderung mengabaikannya. Dalihnya, waktu luang adalah untuk istirahat memanjakan diri.

Ketujuh, kita cenderung menuruti “kata ego” dari pada “kata hati”. Kata hati selalu menginginkan rajin belajar agar pintar, namun pada waktu yang sama ego selalu menggoda dengan sejumlah kenikmatan: malas, capek, kantuk, tunda dulu dan sebagainya. Sayangnya, kita sering lebih patuh pada “kata ego” (bisikan setan) dari pada “kata hati” (bisikan Illahiyah).

Bila kita gabung menjadi satu, dari tujuh perangkap pembodohan tersebut di atas, sesungguhnya hanya persoalan cara pandang saja terhadap “pendewasaan pikiran”. Sebagian orang, karena belum tahu mungkin, memandang bahwa “menghindari kesulitan” adalah cara mudah mendapatkan kenyamanan hidup, sementara sebagian yang lain memandang “menghindari kesulitan” adalah pangkal kebodohan pembawa malapetaka hidup. Pada sisi lain, sebagian orang memandang kemiskinan identik dengan kebodohan (artinya, orang miskin dengan segala keterbatasannya tidak mungkin bisa belajar),  sementara sebagian yang lain memandang kemiskinan sebagai pemicu kebangkitan untuk belajar lebih keras dengan cara bagaimana pun.

Lagi-lagi persoalannya sama, yakni perangkap pembodohan diri. Akan tetapi sebagian orang  itu sebagai perangkap, sebagian orang itu bukan perangkap. Takut salah, kesibukan (perangkap waktu), dan memanjakan diri  merupakan perangkap, namun sebagian orang memandangnya itu bukan perangkap melainkan “sebuah kewaspadaan” agar kita tidak terperangkap di dalamnya. Atau, dalam konteks lain, perilaku menunda-nunda itu mungkin tidak baik, tetapi menunda kemarahan adalah hal yang baik.

Setiap peristiwa ada konten (content) dan konteks (context) . Setiap perangkap kebodohan bersifat subjective experience. Artinya, semisal Anda mengalami peristiwa “PR matematik” itu sulit dan memusingkan, ditambah dengan gurunya yang galak, sangat memungkin untuk membenci matematik seumur hidup. Namun bagi orang lain, pengalaman yang sama boleh jadi memicunya untuk belajar lebih serius tentang matematik.

Semua peristiwa pembodohan diri yang saya sebutkan di atas bersifat subjektif. Dengan demikian, apakah perangkap-perangkap itu akan nyata menjadi perangkap atau menjadi alat berprestasi sangat tergantung individu masing-masing  dalam memberikan “makna” setiap perangkap itu. Dengan demikian, apakah ada perangkap atau tidak dalam diri kita sangat tergantung subjektifitas kita masing-masing.

Yang sulit adalah, bagaimana merubah semua peristiwa negatif yang menjadi perangkap itu menjadi “seperti” peristiwa positif yang tidak lagi memerangkap diri. Disinilah letak pentingnya kesadaran puncak (the ultimate awareness). Kesadaran yang bukan hanya sekedar tahu atau paham saja ala kesadarn kognitif, namun kesadaran total yang melibatkan emosional-spiritual, yakni kesadaran yang melibatkan persetujuan lubuk hati yang paling dalam.

Banyak orang yang kesadaran kognitifnya tahu dan paham akan bahaya merokok, tetapi mereka masih sayang untuk untuk menghentikan kebiasaan buruk itu. Kenapa? Karena kesadarannya belum masuk wilayah kesadaran puncak yang melibatkan lubuk hati yang paling dalam. Masih setengah hati. Namun, bila kesadarannya sampai puncak yakni sepenuh hati, maka  kebiasaan buruk itu bisa dihentikan.

Apabila kita sadar sesadar-sadarnya (kesadaran puncak) bahwa semua perangkap itu ternyata membodohkan  kenapa masih dipertahankan? Kalau semua perangkap itu sebelulnya hanya subjektif sifatnya (ada atau tidaknya sangat tergantung cara pandang kita masing-masing), maka mestinya secara teoritis tidak sulit untuk dihapus. Kolaborasi antara kesadaran puncak dengan kesanggupan memberi makna positif pada setiap bentuk perangkap akan memudahkan kita untuk keluar dari perangkap-perangkap kebodohan tersebut di atas.

Dalam dunia NLP dan sejumlah teknik hypnosis memang ada cara-cara untuk mengatasi keluar dari sejumlah Perangkap Pembodohan Diri tersebut di atas. Namun apa pun teknik yang digunakan  bila niatnya setengah hati maka teknik tinggalah teknik saja.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

* Jangan Meninggalkan Link Aktif
* Silahkan berkomentar dengan Kata Sopan Dan Ber-Etika.
* Terima kasih telah singgah di blog ini.
* Oke jangan pernah bosen singgah di sini :D
EmoticonEmoticon